*Sebuah Renungan*
“Goblok kamu ya…!” Kata Suamiku sambil melemparkan buku rapor sekolah Doni.
Kulihat suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia menarik kuping Doni dengan keras. Doni meringis. Tak berapa lama Suamiku pergi kekamar dan keluar kembali membawa penepuk nyamuk. Dengan garang suamiku memukul Doni berkali-kali dengan penepuk nyamuk itu. Penepuk nyamuk itu diarahkan ke kaki, kemudian ke punggung dan terus-menerus. Doni pun menangis
“Ampun, ayah... Ampun ayah…” Katanya dengan suara terisak-isak.
Wajahnya memancarkan rasa takut tapi ia tidak meraung. Doni tegar dengan siksaan itu. Tapi matanya memandangku. Dia membutuhkan perlindunganku. Tapi aku tak sanggup karena aku tahu betul sifat suamiku.
“Lihat adik adikmu. Mereka semua pintar-pintar. Mereka rajin belajar. Ini kamu anak tertua malah malas dan tolol. Mau jadi apa kamu nanti? Mau jadi beban adik adik kamu ya… Hah?” Kata suamiku dengan suara terengah-engah kelelahan memukul Doni.
Suamiku terduduk di kursi. Matanya kosong memandang kearah Doni dan kemudian melirik kearah ku
“Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat rapor sekolahnya buruk. Dengar itu!” Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk kekamar tidur.
Kupeluk Doni. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai rapor buruk dan tidak naik kelas saja dia sudah malu apalagi di maki maki dan dimarahi didepan adik adiknya. Dia malu sebagai anak tertua.
Kembali matanya memandangku. Kulihat dia butuh dukunganku. Kupeluk Doni dengan erat.
“Anak bunda, tidak tolol. Anak bunda pintar kok. Besok yang rajin ya belajarnya”
“Doni udah belajar sungguh-sungguh, bunda, Bunda kan lihat sendiri. Tapi Doni memang enggak pintar seperti Ruli dan Rini. Kenapa ya Bunda?” Wajah lugunya membuatku terenyuh.. Aku menangis
“Doni, pintar kok. Doni kan anak ayah. Ayah Doni pintar tentu Doni juga pintar.”
“Doni bukan anak ayah.” Katanya dengan mata tertunduk
“Doni telah mengecewakan Ayah, ya bunda?”
Malamnya, adiknya Ruli yang sekamar dengannya membangunkan kami karena ketakutan melihat Doni menggigau terus. Aku dan suamiku segera kekamar Doni. Kurasakan badannya panas. Kupeluk Doni dengan sekuat jiwaku untuk menenangkannya. Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan badannya panas. Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi dokter keluarga. Doni tak lepas dari pelukanku
“Anak bunda, buah hati bunda, kenapa sayang. Ini bunda,..” Kataku sambil terus membelai kepalanya. Tak berapa lama matanya mulai redup dan terkulai. Dia mulai sadar. Doni membalas pelukanku.
:Bunda, temani Doni tidur ya.” Katanya sayup sayup.
Suamiku hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena kejadian siang tadi.
Doni adalah putra tertua kami. Dia lahir memang ketika keadaan keluarga kami sadang sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan rumah tangga kami. Ketika itulah aku hamil Doni. Mungkin karena kurang gizi selama masa kehamilan, dan itu membuat janinku tumbuh dengan tidak sempurna.
Kemudian, ketika Doni lahir pun kehidupan kami masih sangat sederhana. Masa balita Doni pun tidak sebaik anak-anak lain. Diapun kurang gizi. Tapi ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring usainya kuliah suamiku dan mendapatkan karir yang bagus di BUMN.
Setelah itu aku kembali hamil dan Ruli lahir, anak laki laki kedua kami. Dan dua tahu setelah itu, Rini lahir, adik perempuannya. Kedua putra putriku yang lahir setelah Doni mendapatkan lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula. Makanya mereka disekolah pintar-pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh ketersediaan gizi yang cukup dan lingkungan yang baik. Tapi keadaan ini tidak pernah mau diterima oleh Suamiku. Dia punya standar yang tinggi terhadap anak anaknya. Dia ingin semua anaknya seperti dia. Pintar dan cerdas.
“Masalah Doni bukannya dia tolol, Tapi dia malas. Itu saja.” Kata suamiku berkali kali. Seakan dia ingin menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak jadi cerdas.
“Aku ini dari keluarga miskin. Mana pula aku ada gizi cukup. Mana pula orang tuaku ngerti soal gizi. Tapi nyatanya aku berhasil.” Aku tak bisa berkata banyak untuk mempertahankan tesisku itu.
Seminggu setelah itu, suamiku memutuskan untuk mengirim Doni kepesantren. Aku pun tersentak.
“ Apa alasan Mas mengirim Doni ke Pondok Pesantren?”
“Biar dia bisa di didik dengan benar!”
“Apakah dirumah dia tidak mendapatkan itu?”
“Ini sudah keputusanku, Titik!”
“tapi kenapa , Mas?” Aku berusaha ingin tahu alasan dibalik itu. Suamiku hanya diam.
Aku tahu alasannya. Dia tidak ingin ada pengaruh buruk kepada kedua putra putri kami. Dia malu dengan tidak naik kelasnya Doni. Suamiku ingin memisahkan Doni dari adik-adiknya agar jelas mana yang bisa diandalkannya dan mana yang harus dibuangnya. Mungkinkah itu alasannya?
Bagaimanapun, bagiku Doni akan tetap putraku dan aku akan selalu ada untuknya. Aku tak berdaya. Suamiku terlalu pintar bila diajak berdebat.
Ketika Doni mengetahui dia akan dikirim ke Pondok Pesantren, dia memandangku. Dia nanpak bingung. Dia terlalu dekat denganku dan tak ingin berpisah dariku.
Dia memeluk aku
“Doni enggak mau jauh-jauh dari bunda” Katanya.
Tapi seketika itu juga suamiku membentaknya
“Kamu ini laki-laki. TIdak boleh cengeng. Tidak boleh hidup dibawah ketiak ibumu. Ngerti? Kamu harus ikut kata Ayah. Besok Ayah akan urus kepindahan kamu ke Pondok Pesantren.”
Setelah Doni berada di Pondok Pesantren setiap hari aku merindukan buah hatiku. Tapi suamiku nampak tidak peduli.
“Kamu tidak boleh mengunjunginya di pondok. Dia harus diajarkan mandiri. Tunggu saja kalau liburan dia akan pulang” Kata suamiku tegas seakan membaca kerinduanku untuk mengunjungi Doni.
Tak terasa Doni kini sudah kelas 3 Madrasa Aliyah atau setingkat SMU. Ruli kelas 1 SMU dan Rini kelas 2 SMP. Suamiku tidak pernah bertanya soal Raport sekolahnya. Tapi aku tahu raport sekolahnya tak begitu bagus tapi juga tidak begitu buruk. Bila liburan Doni pulang kerumah, Doni lebih banyak diam. Dia makan tak pernah berlebihan dan tak pernah bersuara selagi makan sementara adiknya bercerita banyak soal disekolah dan suamiku menanggapi dengan tangkas untuk mencerahkan. Walau dia satu kamar dengan adiknya, namun dia selalu membersihkannya setelah bangun tidur. Tengah malam dia bangun dan sholat tahajud dan berzikir sampai sholat subuh.
Ku purhatikan tahun demi tahu perubahan Doni setelah mondok. Dia berubah dan berbeda dengan adik adiknya. Dia sangat mandiri dan hemat berbicara. Setiap hendak pergi keluar rumah, dia selalu mencium tanganku dan setelah itu memelukku. Beda sekali dengan adik-adiknya yang serba cuek dengan gaya hidup modern didikan suamiku.
Setelah lulus Madrasa Aliyah, Doni kembali tinggal dirumah. Suamiku tidak menyuruhnya melanjutkan ke Universitas.
“Nilai rapor dan kemampuannya tak bisa masuk universitas. Sudahlah. Aku tidak bisa mikir soal masa depan dia. Kalau dipaksa juga masuk universitas akan menambah beban mentalnya.” Demikian alasan suamiku.
Aku dapat memaklumi itu. Namun suamiku tak pernah berpikir apa yang harus diperbuat Doni setelah lulus dari pondok. Doni pun tidak pernah bertanya. Dia hanya menanti dengan sabar.
Selama setahun setelah Doni tamat dari mondok, waktunya lebih banyak di habiskan di Masjid. Dia terpilih sebagai ketua Ikatan Remaja Masjid. Doni tidak memilih Masjid yang berada di komplek kami tapi dia memilih masjid diperkampungan yang berada dibelakang komplek. Mungkin karena inilah suamiku semakin kesal dengan Doni karena dia bergaul dengan orang kebanyakan.
Suamiku sangat menjaga reputasinya dan tak ingin sedikitpun tercemar. Mungkin karena dia malu dengan cemoohan dari tetangga maka dia kadang marah tanpa alasan yang jelas kepada Doni. Tapi Doni tetap diam. Tak sedikitpun dia membela diri.
Suatu hari yang tak pernah kulupakan adalah ketika polisi datang kerumahku. Polisi mencurigai Doni dan teman temannya mencuri di rumah yang ada di komplek kami. Aku tersentak.
“Benarkah itu?”
Doni sujud dikaki ku sambil berkata.
“Doni tidak mencuri, Bunda. Tdak, Bunda percayakan dengan Doni. Kami memang sering menghabiskan malam di masjid tapi tidak pernah keluar untuk mencuri.” Aku meraung ketika Doni dibawa kekantor polisi.
Suamiku dengan segala daya dan upaya membela Doni. Alhamdulilah Doni dan teman temannya terbebaskan dari tuntutan itu. Karena memang tidak ada bukti sama sekali. Mungkin ini akibat kekesalan penghuni komplek oleh ulah Doni dan kawan-kawan yang selalu berzikir dimalam hari dan menggangu ketenangan tidur.
Tapi akibat kejadian itu, suamiku mengusir Doni dari rumah. Doni tidak protes. Dia hanya diam dan menerima keputusan itu. Sebelum pergi dia merangkul aku
“Bunda , Maafkanku. Doni belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakan Bunda dan Ayah. Maafkan Doni” Pesanya.
Diapun memandang adiknya satu satu. Dia peluk mereka satu persatu
“Jaga bunda ya. Mulailah sholat dan jangan tinggalkan sholat. Kalian sudah besar.” demikian pesan Doni.
Suamiku nampak tegar dengan sikapnya untuk mengusir Doni dari rumah.
“Mas, Dimana Doni akan tinggal?” Kataku dengan batas kekuatan terakhirku membela Doni.
“Itu bukan urusanku. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri.”
Tak terasa sudah enam tahun Doni pergi dari Rumah. Setiap bulan dia selalu mengirim surat kepadaku. Dari suratnya kutahu Doni berpindah-pindah kota. Pernah di Bandung, Jakarta, Surabaya dan tiga tahun lalu dia berangkat ke Luar negeri.
Bila membayangkan masa kanak kanaknya kadang aku menangis. Aku merindukan putra sulungku. Setiap hari kami menikmati fasilitas hidup yang berkecukupan. Ruli kuliah dengan kendaraan bagus dan ATM yang berisi penuh. Rinipun sama. Karir suamiku semakin tinggi. Lingkungan social kami semakin berkelas. Tapi, satu putra kami pergi dari kami. Entah bagaimana kehidupannya. Apakah dia lapar. Apakah dia kebasahan ketika hujan karena tidak ada tempat bernaung. Namun dari surat Doni, aku tahu dia baik baik saja. Dia selalu menitipkan pesan kepada kami,
“Jangan tinggalkan sholat. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita siang dan malam.”
Prahara datang kepada keluarga kami. Suamiku tersangkut kasus Korupsi. Selama proses pemeriksaan itu suamiku tidak dibenarkan masuk kantor. Dia dinonaktifkan. Selama proses itu pula suamiku nampak murung. Kesehatannya mulai terganggu. Suamiku mengidap hipertensi, dan puncaknya adalah ketika Polisi menjemput suamiku di rumah. Suamiku terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Rumah dan semua harta yang selama ini dikumpulkan disita oleh negara.
Media massa memberitakan itu setiap hari. Reputasi yang selalu dijaga oleh suamiku selama ini ternyata dengan mudah hancur berkeping-keping. Harta yang dikumpul, sirna seketika. Kami sekeluarga menjadi pesakitan. Ruli malas untuk terus keliah karena malu dengan teman temannya. Rini juga sama yang tak ingin terus kuliah.
Kini suamiku dipenjara dan anak anak jadi bebanku dirumah kontrakan. Ya walau mereka sudah dewasa namun mereka menjadi bebanku. Mereka tak mampu untuk menolongku. Baru kutahu bahwa selama ini kemanjaan yang diberikan oleh suamiku telah membuat mereka lemah untuk survival dengan segala kekurangan. Maka jadilah mereka bebanku ditengah prahara kehidupan kami.
Pada saat inilah aku sangat merindukan putra sulungku. Ditengah aku sangat merindukan itulah aku melihat sosok pria gagah berdiri didepan pintu rumah. Doniku ada didepanku dengan senyuman khasnya. Dia menghambur kedalam pelukanku.
“Maafkan aku Bunda, Aku baru sempat datang sekarang sejak aku mendapat surat dari bunda tentang keadaan ayah.” katanya.
Dari wajahnya kutahu dia sangat merindukanku. Rini dan Ruli juga segera memeluk Doni. Mereka juga merindukan kakaknya. Hari itu, kami berempat saling berpelukan untuk meyakinkan kami akan selalu bersama-sama.
Kehadiran Doni dirumah telah membuat suasana menjadi lain. Dengan bekal tabungannya selama bekerja diluar negeri, Doni membuka usaha percetakan dan reklame. Aku tahu betul sedari kecil dia suka sekali menggambar namun hobi itu selalu di cemoohkan oleh ayahnya. Doni mengambil alih peran ayahnya untuk melindungi kami. Tak lebih setahun setelah itu, Ruli kembali kuliah dan tak pernah meninggalkan sholat dan juga Rini. Setiap maghrib dan subuh Doni menjadi imam kami sholat berjamaah dirumah. Seusai sholat berjaman Doni tak lupa duduk bersilah dihadapan kami dan berbicara dengan bahasa yang sangat halus, beda sekali dengan gaya ayahnya.
“Manusia tidak dituntut untuk terhormat dihadapan manusia tapi dihadapan Allah. Harta dunia, pangkat dan jabatan tidak bisa dijadikan tolok ukur kehormatan. Kita harus berjalan dengan cara yang benar dan itulah kunci meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat. Itulah yang harus kita perjuangkan dalam hidup agar mendapatkan kemuliaan disisi Allah. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita. Apakah ada yang lebih hebat menjaga kita didunia ini dibandingkan dengan Allah.”
“Apa yang menimpa keluarga kita sekarang bukanlan azab dari Allah. Ini karena Allah cinta kepada Ayah. Allah cinta kepada kita semua karena kita semua punya peran hingga membuat ayah terpuruk dalam perbuatan dosa sebagai koruptor. Allah sedang berdialog dengan kita tentang sabar dan ikhlas, tentang hakikat kehidupan, tentang hakikat kehormatan. Kita harus mengambil hikmah dari ini semua untuk kembali kepada Allah dalam sesal dan taubat. Agar bila besok ajal menjemput kita, tak ada lagi yang harus disesalkan, Karna kita sudah sangat siap untuk pulang keharibaan Allah dengan bersih.”
Seusai Doni berbicara, aku selalu menangis. Doni yang tidak pintar sekolah, tapi Allah mengajarinya untuk mengetahui rahasia terdalam tentang kehidupan dan dia mendapatkan itu untuk menjadi pelindung kami dan menuntun kami dalam taubah.
Hal ini jugalah yang mempengaruhi sikap suamiku dipenjara. Kesehatannya membaik. Darah tingginya tak lagi sering naik. Dia ikhlas dan sabar , dan tentu karena dia semakin dekat kepada Allah. Tak pernah tinggal sholat sekalipun. Zikir dan linangan airmata sesal akan dosanya telah membuat jiwanya tentram. Mahasuci Allah , terimakasih anakku.
*Semoga Bermanfaat*
“Goblok kamu ya…!” Kata Suamiku sambil melemparkan buku rapor sekolah Doni.
Kulihat suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia menarik kuping Doni dengan keras. Doni meringis. Tak berapa lama Suamiku pergi kekamar dan keluar kembali membawa penepuk nyamuk. Dengan garang suamiku memukul Doni berkali-kali dengan penepuk nyamuk itu. Penepuk nyamuk itu diarahkan ke kaki, kemudian ke punggung dan terus-menerus. Doni pun menangis
“Ampun, ayah... Ampun ayah…” Katanya dengan suara terisak-isak.
Wajahnya memancarkan rasa takut tapi ia tidak meraung. Doni tegar dengan siksaan itu. Tapi matanya memandangku. Dia membutuhkan perlindunganku. Tapi aku tak sanggup karena aku tahu betul sifat suamiku.
“Lihat adik adikmu. Mereka semua pintar-pintar. Mereka rajin belajar. Ini kamu anak tertua malah malas dan tolol. Mau jadi apa kamu nanti? Mau jadi beban adik adik kamu ya… Hah?” Kata suamiku dengan suara terengah-engah kelelahan memukul Doni.
Suamiku terduduk di kursi. Matanya kosong memandang kearah Doni dan kemudian melirik kearah ku
“Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat rapor sekolahnya buruk. Dengar itu!” Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk kekamar tidur.
Kupeluk Doni. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai rapor buruk dan tidak naik kelas saja dia sudah malu apalagi di maki maki dan dimarahi didepan adik adiknya. Dia malu sebagai anak tertua.
Kembali matanya memandangku. Kulihat dia butuh dukunganku. Kupeluk Doni dengan erat.
“Anak bunda, tidak tolol. Anak bunda pintar kok. Besok yang rajin ya belajarnya”
“Doni udah belajar sungguh-sungguh, bunda, Bunda kan lihat sendiri. Tapi Doni memang enggak pintar seperti Ruli dan Rini. Kenapa ya Bunda?” Wajah lugunya membuatku terenyuh.. Aku menangis
“Doni, pintar kok. Doni kan anak ayah. Ayah Doni pintar tentu Doni juga pintar.”
“Doni bukan anak ayah.” Katanya dengan mata tertunduk
“Doni telah mengecewakan Ayah, ya bunda?”
Malamnya, adiknya Ruli yang sekamar dengannya membangunkan kami karena ketakutan melihat Doni menggigau terus. Aku dan suamiku segera kekamar Doni. Kurasakan badannya panas. Kupeluk Doni dengan sekuat jiwaku untuk menenangkannya. Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan badannya panas. Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi dokter keluarga. Doni tak lepas dari pelukanku
“Anak bunda, buah hati bunda, kenapa sayang. Ini bunda,..” Kataku sambil terus membelai kepalanya. Tak berapa lama matanya mulai redup dan terkulai. Dia mulai sadar. Doni membalas pelukanku.
:Bunda, temani Doni tidur ya.” Katanya sayup sayup.
Suamiku hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena kejadian siang tadi.
Doni adalah putra tertua kami. Dia lahir memang ketika keadaan keluarga kami sadang sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan rumah tangga kami. Ketika itulah aku hamil Doni. Mungkin karena kurang gizi selama masa kehamilan, dan itu membuat janinku tumbuh dengan tidak sempurna.
Kemudian, ketika Doni lahir pun kehidupan kami masih sangat sederhana. Masa balita Doni pun tidak sebaik anak-anak lain. Diapun kurang gizi. Tapi ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring usainya kuliah suamiku dan mendapatkan karir yang bagus di BUMN.
Setelah itu aku kembali hamil dan Ruli lahir, anak laki laki kedua kami. Dan dua tahu setelah itu, Rini lahir, adik perempuannya. Kedua putra putriku yang lahir setelah Doni mendapatkan lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula. Makanya mereka disekolah pintar-pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh ketersediaan gizi yang cukup dan lingkungan yang baik. Tapi keadaan ini tidak pernah mau diterima oleh Suamiku. Dia punya standar yang tinggi terhadap anak anaknya. Dia ingin semua anaknya seperti dia. Pintar dan cerdas.
“Masalah Doni bukannya dia tolol, Tapi dia malas. Itu saja.” Kata suamiku berkali kali. Seakan dia ingin menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak jadi cerdas.
“Aku ini dari keluarga miskin. Mana pula aku ada gizi cukup. Mana pula orang tuaku ngerti soal gizi. Tapi nyatanya aku berhasil.” Aku tak bisa berkata banyak untuk mempertahankan tesisku itu.
Seminggu setelah itu, suamiku memutuskan untuk mengirim Doni kepesantren. Aku pun tersentak.
“ Apa alasan Mas mengirim Doni ke Pondok Pesantren?”
“Biar dia bisa di didik dengan benar!”
“Apakah dirumah dia tidak mendapatkan itu?”
“Ini sudah keputusanku, Titik!”
“tapi kenapa , Mas?” Aku berusaha ingin tahu alasan dibalik itu. Suamiku hanya diam.
Aku tahu alasannya. Dia tidak ingin ada pengaruh buruk kepada kedua putra putri kami. Dia malu dengan tidak naik kelasnya Doni. Suamiku ingin memisahkan Doni dari adik-adiknya agar jelas mana yang bisa diandalkannya dan mana yang harus dibuangnya. Mungkinkah itu alasannya?
Bagaimanapun, bagiku Doni akan tetap putraku dan aku akan selalu ada untuknya. Aku tak berdaya. Suamiku terlalu pintar bila diajak berdebat.
Ketika Doni mengetahui dia akan dikirim ke Pondok Pesantren, dia memandangku. Dia nanpak bingung. Dia terlalu dekat denganku dan tak ingin berpisah dariku.
Dia memeluk aku
“Doni enggak mau jauh-jauh dari bunda” Katanya.
Tapi seketika itu juga suamiku membentaknya
“Kamu ini laki-laki. TIdak boleh cengeng. Tidak boleh hidup dibawah ketiak ibumu. Ngerti? Kamu harus ikut kata Ayah. Besok Ayah akan urus kepindahan kamu ke Pondok Pesantren.”
Setelah Doni berada di Pondok Pesantren setiap hari aku merindukan buah hatiku. Tapi suamiku nampak tidak peduli.
“Kamu tidak boleh mengunjunginya di pondok. Dia harus diajarkan mandiri. Tunggu saja kalau liburan dia akan pulang” Kata suamiku tegas seakan membaca kerinduanku untuk mengunjungi Doni.
Tak terasa Doni kini sudah kelas 3 Madrasa Aliyah atau setingkat SMU. Ruli kelas 1 SMU dan Rini kelas 2 SMP. Suamiku tidak pernah bertanya soal Raport sekolahnya. Tapi aku tahu raport sekolahnya tak begitu bagus tapi juga tidak begitu buruk. Bila liburan Doni pulang kerumah, Doni lebih banyak diam. Dia makan tak pernah berlebihan dan tak pernah bersuara selagi makan sementara adiknya bercerita banyak soal disekolah dan suamiku menanggapi dengan tangkas untuk mencerahkan. Walau dia satu kamar dengan adiknya, namun dia selalu membersihkannya setelah bangun tidur. Tengah malam dia bangun dan sholat tahajud dan berzikir sampai sholat subuh.
Ku purhatikan tahun demi tahu perubahan Doni setelah mondok. Dia berubah dan berbeda dengan adik adiknya. Dia sangat mandiri dan hemat berbicara. Setiap hendak pergi keluar rumah, dia selalu mencium tanganku dan setelah itu memelukku. Beda sekali dengan adik-adiknya yang serba cuek dengan gaya hidup modern didikan suamiku.
Setelah lulus Madrasa Aliyah, Doni kembali tinggal dirumah. Suamiku tidak menyuruhnya melanjutkan ke Universitas.
“Nilai rapor dan kemampuannya tak bisa masuk universitas. Sudahlah. Aku tidak bisa mikir soal masa depan dia. Kalau dipaksa juga masuk universitas akan menambah beban mentalnya.” Demikian alasan suamiku.
Aku dapat memaklumi itu. Namun suamiku tak pernah berpikir apa yang harus diperbuat Doni setelah lulus dari pondok. Doni pun tidak pernah bertanya. Dia hanya menanti dengan sabar.
Selama setahun setelah Doni tamat dari mondok, waktunya lebih banyak di habiskan di Masjid. Dia terpilih sebagai ketua Ikatan Remaja Masjid. Doni tidak memilih Masjid yang berada di komplek kami tapi dia memilih masjid diperkampungan yang berada dibelakang komplek. Mungkin karena inilah suamiku semakin kesal dengan Doni karena dia bergaul dengan orang kebanyakan.
Suamiku sangat menjaga reputasinya dan tak ingin sedikitpun tercemar. Mungkin karena dia malu dengan cemoohan dari tetangga maka dia kadang marah tanpa alasan yang jelas kepada Doni. Tapi Doni tetap diam. Tak sedikitpun dia membela diri.
Suatu hari yang tak pernah kulupakan adalah ketika polisi datang kerumahku. Polisi mencurigai Doni dan teman temannya mencuri di rumah yang ada di komplek kami. Aku tersentak.
“Benarkah itu?”
Doni sujud dikaki ku sambil berkata.
“Doni tidak mencuri, Bunda. Tdak, Bunda percayakan dengan Doni. Kami memang sering menghabiskan malam di masjid tapi tidak pernah keluar untuk mencuri.” Aku meraung ketika Doni dibawa kekantor polisi.
Suamiku dengan segala daya dan upaya membela Doni. Alhamdulilah Doni dan teman temannya terbebaskan dari tuntutan itu. Karena memang tidak ada bukti sama sekali. Mungkin ini akibat kekesalan penghuni komplek oleh ulah Doni dan kawan-kawan yang selalu berzikir dimalam hari dan menggangu ketenangan tidur.
Tapi akibat kejadian itu, suamiku mengusir Doni dari rumah. Doni tidak protes. Dia hanya diam dan menerima keputusan itu. Sebelum pergi dia merangkul aku
“Bunda , Maafkanku. Doni belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakan Bunda dan Ayah. Maafkan Doni” Pesanya.
Diapun memandang adiknya satu satu. Dia peluk mereka satu persatu
“Jaga bunda ya. Mulailah sholat dan jangan tinggalkan sholat. Kalian sudah besar.” demikian pesan Doni.
Suamiku nampak tegar dengan sikapnya untuk mengusir Doni dari rumah.
“Mas, Dimana Doni akan tinggal?” Kataku dengan batas kekuatan terakhirku membela Doni.
“Itu bukan urusanku. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri.”
Tak terasa sudah enam tahun Doni pergi dari Rumah. Setiap bulan dia selalu mengirim surat kepadaku. Dari suratnya kutahu Doni berpindah-pindah kota. Pernah di Bandung, Jakarta, Surabaya dan tiga tahun lalu dia berangkat ke Luar negeri.
Bila membayangkan masa kanak kanaknya kadang aku menangis. Aku merindukan putra sulungku. Setiap hari kami menikmati fasilitas hidup yang berkecukupan. Ruli kuliah dengan kendaraan bagus dan ATM yang berisi penuh. Rinipun sama. Karir suamiku semakin tinggi. Lingkungan social kami semakin berkelas. Tapi, satu putra kami pergi dari kami. Entah bagaimana kehidupannya. Apakah dia lapar. Apakah dia kebasahan ketika hujan karena tidak ada tempat bernaung. Namun dari surat Doni, aku tahu dia baik baik saja. Dia selalu menitipkan pesan kepada kami,
“Jangan tinggalkan sholat. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita siang dan malam.”
Prahara datang kepada keluarga kami. Suamiku tersangkut kasus Korupsi. Selama proses pemeriksaan itu suamiku tidak dibenarkan masuk kantor. Dia dinonaktifkan. Selama proses itu pula suamiku nampak murung. Kesehatannya mulai terganggu. Suamiku mengidap hipertensi, dan puncaknya adalah ketika Polisi menjemput suamiku di rumah. Suamiku terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Rumah dan semua harta yang selama ini dikumpulkan disita oleh negara.
Media massa memberitakan itu setiap hari. Reputasi yang selalu dijaga oleh suamiku selama ini ternyata dengan mudah hancur berkeping-keping. Harta yang dikumpul, sirna seketika. Kami sekeluarga menjadi pesakitan. Ruli malas untuk terus keliah karena malu dengan teman temannya. Rini juga sama yang tak ingin terus kuliah.
Kini suamiku dipenjara dan anak anak jadi bebanku dirumah kontrakan. Ya walau mereka sudah dewasa namun mereka menjadi bebanku. Mereka tak mampu untuk menolongku. Baru kutahu bahwa selama ini kemanjaan yang diberikan oleh suamiku telah membuat mereka lemah untuk survival dengan segala kekurangan. Maka jadilah mereka bebanku ditengah prahara kehidupan kami.
Pada saat inilah aku sangat merindukan putra sulungku. Ditengah aku sangat merindukan itulah aku melihat sosok pria gagah berdiri didepan pintu rumah. Doniku ada didepanku dengan senyuman khasnya. Dia menghambur kedalam pelukanku.
“Maafkan aku Bunda, Aku baru sempat datang sekarang sejak aku mendapat surat dari bunda tentang keadaan ayah.” katanya.
Dari wajahnya kutahu dia sangat merindukanku. Rini dan Ruli juga segera memeluk Doni. Mereka juga merindukan kakaknya. Hari itu, kami berempat saling berpelukan untuk meyakinkan kami akan selalu bersama-sama.
Kehadiran Doni dirumah telah membuat suasana menjadi lain. Dengan bekal tabungannya selama bekerja diluar negeri, Doni membuka usaha percetakan dan reklame. Aku tahu betul sedari kecil dia suka sekali menggambar namun hobi itu selalu di cemoohkan oleh ayahnya. Doni mengambil alih peran ayahnya untuk melindungi kami. Tak lebih setahun setelah itu, Ruli kembali kuliah dan tak pernah meninggalkan sholat dan juga Rini. Setiap maghrib dan subuh Doni menjadi imam kami sholat berjamaah dirumah. Seusai sholat berjaman Doni tak lupa duduk bersilah dihadapan kami dan berbicara dengan bahasa yang sangat halus, beda sekali dengan gaya ayahnya.
“Manusia tidak dituntut untuk terhormat dihadapan manusia tapi dihadapan Allah. Harta dunia, pangkat dan jabatan tidak bisa dijadikan tolok ukur kehormatan. Kita harus berjalan dengan cara yang benar dan itulah kunci meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat. Itulah yang harus kita perjuangkan dalam hidup agar mendapatkan kemuliaan disisi Allah. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita. Apakah ada yang lebih hebat menjaga kita didunia ini dibandingkan dengan Allah.”
“Apa yang menimpa keluarga kita sekarang bukanlan azab dari Allah. Ini karena Allah cinta kepada Ayah. Allah cinta kepada kita semua karena kita semua punya peran hingga membuat ayah terpuruk dalam perbuatan dosa sebagai koruptor. Allah sedang berdialog dengan kita tentang sabar dan ikhlas, tentang hakikat kehidupan, tentang hakikat kehormatan. Kita harus mengambil hikmah dari ini semua untuk kembali kepada Allah dalam sesal dan taubat. Agar bila besok ajal menjemput kita, tak ada lagi yang harus disesalkan, Karna kita sudah sangat siap untuk pulang keharibaan Allah dengan bersih.”
Seusai Doni berbicara, aku selalu menangis. Doni yang tidak pintar sekolah, tapi Allah mengajarinya untuk mengetahui rahasia terdalam tentang kehidupan dan dia mendapatkan itu untuk menjadi pelindung kami dan menuntun kami dalam taubah.
Hal ini jugalah yang mempengaruhi sikap suamiku dipenjara. Kesehatannya membaik. Darah tingginya tak lagi sering naik. Dia ikhlas dan sabar , dan tentu karena dia semakin dekat kepada Allah. Tak pernah tinggal sholat sekalipun. Zikir dan linangan airmata sesal akan dosanya telah membuat jiwanya tentram. Mahasuci Allah , terimakasih anakku.
*Semoga Bermanfaat*
sumber: fb
0 comments:
Post a Comment